Di era media sosial yang serba cepat dan penuh pencitraan, kita sering menemukan kalimat-kalimat seperti “Ayo semangat terus!”, “Jangan sedih, kamu kuat kok!”, atau “Lihat sisi positifnya aja!”. Kalimat-kalimat itu sekilas terdengar baik, namun bila terus-menerus digunakan tanpa empati atau konteks, justru bisa memicu dampak negatif. Fenomena ini dikenal dengan istilah toxic positivity. Di lingkungan kampus, hal ini bisa sangat berbahaya bagi kesehatan mental mahasiswa.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kondisi di mana seseorang terlalu menekankan pikiran positif dan mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya valid dan perlu dihadapi. Singkatnya, ini adalah bentuk pemaksaan untuk selalu merasa dan terlihat bahagia, meski kenyataannya tidak demikian.
Di kalangan mahasiswa, toxic positivity sering muncul dalam percakapan sehari-hari, komunitas organisasi, hingga unggahan media sosial. Alih-alih menjadi dukungan, sikap ini justru bisa membuat individu merasa bersalah karena mengalami stres, kecemasan, atau kelelahan.
Contoh Toxic Positivity di Lingkungan Kampus
Berikut beberapa contoh nyata bagaimana toxic positivity terjadi di kampus:
-
Ketika teman curhat karena nilainya jelek, malah dijawab, “Masih mending kamu nggak DO, aku lebih parah kok.”
-
Mahasiswa burnout karena organisasi disuruh tetap semangat dengan alasan, “Kita kan mahasiswa tangguh, nggak boleh nyerah!”
-
Saat seseorang merasa depresi, malah dinasihati, “Banyak orang yang lebih menderita daripada kamu.”
-
Seseorang kehilangan orang terdekat, tapi malah dibilang, “Semua ada hikmahnya, tetap semangat ya.”
Kalimat-kalimat ini terdengar baik secara permukaan, namun jika terus diulang tanpa memberi ruang pada emosi asli, bisa memperparah luka batin seseorang.
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
1. Mengabaikan Perasaan Asli
Toxic positivity membuat mahasiswa merasa tidak boleh sedih atau kecewa. Padahal, setiap emosi—baik positif maupun negatif—penting untuk diakui dan diproses secara sehat.
2. Menekan Kesehatan Mental
Ketika seseorang terus memaksa dirinya “bahagia”, ia mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami gangguan psikologis seperti stres kronis, kecemasan, bahkan depresi.
3. Menimbulkan Rasa Malu dan Bersalah
Mahasiswa yang merasa tidak bahagia justru bisa merasa bersalah karena dianggap tidak cukup “kuat”. Ini bisa memunculkan pikiran seperti “Kenapa aku nggak sekuat teman-temanku?” yang akhirnya memperburuk kepercayaan diri.
4. Menghambat Dukungan Sosial yang Sehat
Daripada merasa nyaman bercerita, mahasiswa akan memilih diam karena takut dibilang “baper” atau “lemah”. Lingkungan pun jadi tidak suportif dan tidak ramah terhadap masalah kesehatan mental.
Lingkungan Kampus Harus Lebih Peka
Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung perkembangan mahasiswa, baik secara akademik maupun emosional. Oleh karena itu, penting bagi dosen, organisasi kemahasiswaan, dan sesama mahasiswa untuk memahami bahwa tidak semua masalah harus dihadapi dengan senyum palsu.
Beberapa langkah nyata yang bisa diambil antara lain:
-
Mendengarkan tanpa menghakimi ketika teman bercerita.
-
Menghindari kalimat klise dan menggantinya dengan empati seperti, “Aku paham itu pasti berat buat kamu, mau cerita lebih lanjut?”
-
Mendorong pencarian bantuan profesional, bukan hanya menyuruh “positif thinking”.
-
Mengedukasi pentingnya kesehatan mental melalui seminar, komunitas, dan sosialisasi rutin di kampus.
Apa yang Harus Dilakukan Saat Menghadapi Teman yang Sedih?
Berikut beberapa cara merespons teman yang sedang mengalami tekanan tanpa terjebak toxic positivity:
-
Validasi perasaannya: “Wajar kok kamu ngerasa kayak gitu, itu nggak salah.”
-
Tawarkan bantuan: “Kamu mau ditemenin ke konselor kampus?”
-
Berikan ruang untuk bercerita: “Kalau kamu butuh tempat cerita, aku di sini ya.”
-
Jangan bandingkan penderitaan: Setiap orang punya beban yang berbeda, jangan remehkan perasaan orang lain.
Kesimpulan
Toxic positivity bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental mahasiswa, terutama di lingkungan kampus yang penuh tekanan akademik, tuntutan sosial, dan kompetisi organisasi. Alih-alih memaksakan semangat, cobalah untuk hadir dan mendengarkan dengan empati. Mahasiswa tidak perlu selalu bahagia, yang penting adalah jujur pada diri sendiri dan saling mendukung tanpa tekanan emosional.
Baca juga disini : Panduan Lengkap Mengikuti Beasiswa: Dari Persiapan hingga Lolos Seleksi